Senin, 09 Februari 2009

Asal Mula Krisis Ekonomi Global

Seperti yang kita ketahui bersama hingga sekarang perbincangan mengenai krisis ekonomi global kian marak. Setiap hari saluran berita televisi lokal selalu menayangkan perkembangan terkini seputar perekonomian dunia dan para investor di negeri ini masih ‘dag-dig-dug’ tentang pengaruh krisis tersebut terhadap Indonesia. Banyak negara di dunia mulai terkena imbas krisis ekonomi sekarang ini, salah satu negara maju, Jerman, menjadi contoh yang paling mencengangkan, tak disangka akibat krisis ini telah menimbulkan resesi di Jerman yang memaksa mereka untuk ‘ merumahkan’ sebagian besar tenaga kerja dan menyebabkan berhentinya beberapa kegiatan produksinya. Dari dalam negeri, pertanda buruk terlihat dari IDX (Indonesia Stock Exchange) , IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) terjun bebas dari posisi digdaya sekitar 2800-an hingga sekarang yang masih berkutat antara 1100 sampai 1300-an. Bahkan makin memburuknya bursa saham di seluruh dunia belakangan ini, bisa jadi membuat IHSG kita turun dibawah 1000. Bahkan, diprediksi hingga pertengahan semester 2009 mendatang, akan banyak terjadi PHK seperti yang terjadi saat 1998 lalu.

Sebenarnya apa sich penyebab krisis ekonomi global??



Mungkin kita pernah mendengar, kejatuhan ekonomi dunia dimulai dari negara Amerika Serikat yang hingga sekarang masih menjadi barometer perekonomian dunia. Jadi wajar saja, ketika perekonomian AS jatuh, perekonomian dunia juga ikut terimbas dampaknya.

Tapi, mengapa negara sekuat AS dapat ‘hancur-lebur’ perekonomiannya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus kembali ke era 80-an, dimana pada saat itu AS juga tengah mengalami masa-masa melambatnya perekonomian. Untuk merangsang perekonomiannya, pada tahun 1986, pemerintah AS menetapkan reformasi pajak, salah satunya berisi pengurangan pajak bagi pembelian rumah, yang berlaku untuk setiap rumah yang dibeli (boleh lebih dari satu). Mengapa? Karena pada saat itu, boleh dibilang rata-rata penduduk AS sudah makmur dan mempunyai rumah sehingga mereka tidak terdorong lagi untuk membeli rumah yang ke-2, ke-3, dst. Hal ini menyebabkan sektor properti_yang merupakan salah satu penggerak perekonomian AS terhambat pertumbuhannya. Maka ‘jalan baru’ ini dibuat untuk kembali meningkatkan properti AS. Bahkan, pembelian rumah boleh dilakukan dengan cara kredit yang disebut mortgage (semacam KPR,walaupun berbeda) yang telah ditetapkan sejak tahun 1925. Mortgage ini diberikan hanya kepada orang yang telah melewati standar tertentu, berupa penghasilan yang besarannya harus melebihi standar yang ditetapkan.

Dengan adanya fasilitas pajak tersebut, gairah bisnis perumahan meningkat drastic menjelang tahun 1990 dan berlanjut hingga 12 tahun kemudian. Besaran mortgage yang sebelumnya hanya USD 150 miliar setahun meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun-tahun berikutnya dan bahkan mencapai USD 700 miliar pada tahun 2004.

Lalu apa efeknya?

Peningkatan secara signifikan penjualan rumah sejak 1990-2004 bukan hanya disebabkan oleh fasilitas pajak. Adanya fasilitas tersebut dilihat sebagai peluang emas bagi ‘para pelaku bisnis keuangan’ untuk membesarkan perusahaan mereka dan meningkatkan laba. Jadilah, mereka berbondong-bondong menjual rumah dengan memberikan kredit kepada masyarkat AS terus menerus yang menyebabkan permintaan rumah menjadi tinggi sehingga harga rumah dan tanah semakin naik dan bahkan melebihi bunga bank. Keadaan ini kemudian dimanfaatkan oleh pemilik rumah dalam upaya mendapatkan laba, setelah rumahnya lunas, di-mortgage-kan kembali untuk membeli rumah berikutnya. Yang di bawah standar, bisa mendapatkan kredit dengan harapan harga rumah semakin tinggi. Kalau tidak sanggup membayar, bank masih untung karena harga rumah yang tinggi. Jadi tidak ada kata takut bagi bank untuk memberikan kredit rumah.

Namun, bank juga mempunyai batasan kredit yang diatur dalam UU perbankan sehingga memaksa mereka untuk bekerja sama dengan investment banking yang secara singkat fungsinya semcam broker, contohnya Lehman Brothers, Bear Stern, dll. Lembaga ini sangat agresif dalam meningkatkan keuntungan perusahaan yang tidak lain disebabkan karena kebebasan-kebebasan yang dimiliki dibandingkan bank-bank secara umum sehingga orang-orang yang kurang memenuhi syarat (suprime) dirangsang untuk meminta mortgage.

Bagan derivatives
Sumber : Subprime Mortgage Credit Derivatives, Fabozzi

Bank atau lembaga keuangan yang memberikan kredit juga telah menjaminkan rumah ke bank atau lembaga keuangan lain. Bank dan lembaga keuangan yang menjadi penjamin juga menjaminkan rumah tersebut ke bank dan lembaga lainnya demikian seterusnya hingga terjadi multiplier effect yang berkisar 30-60%, terlihat dari bagan di atas. Efek ini terus berlanjut ke berbagai produk derivatif di bawahnya, seperti surat berharga, futures, options, CDO, dsb. yang tersebar ke berbagai belahan dunia. Karena adanya sistem margin dari produk derivatif ini dimana kita dapat bertransaksi walaupun dana yang dimiliki tidak cukup menyebabkan banyak uang virtual yang diciptakan yang besaranya jauh melebihi uang yang ada sesungguhnya.

Dan akhirnya…

Ketika kondisi gagal bayar terjadi, hal yang tidak menjadi masalah jika hanya sebagian pihak tertentu saja, dan meningkat signifikan secara bersamaan. Menyebabkan banyak rumah yang disita, rumah yang dijual juga sangat banyak untuk menutupi gagal bayar yang terjadi. Ini tentunya menyebabkan penawaran rumah jauh melebihi permintaan sehingga harga rumah anjlok. Anjloknya harga rumah berimbas pada nilai jaminan rumah yang tidak sesuai dengan nilai pinjaman, yang akhirnya menyebabkan semakin banyak gagal bayar yang terjadi.

Jadi ketika timbul kondisi gagal bayar, terutama dari golongan suprime dan Alt-A efeknya terus terimbas secara tak berhingga banyaknya sehingga dari USD 1,6 trilliun membengkak menjadi USD 5 trilliun, besaran yang diperkirakan termasuk dalam mortgage. Jadi keinginan Presiden Bush untuk menyuntikkan dana sebesar USD 700 miliar guna menyelesaikan masalah memang patut dipertanyakan. Itulah yang menyebabkan keputusan dikeluarkan atau tidaknya dana tersebut berlarut-larut.

Jadi kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang “menabung”-kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang saat ini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah dan ditambah dengan kepemilikan modal asing di dalam negeri, Indonesia akan terseret ke dalamnya, rasanya tidak banyak, jika pengaruhnya dibandingkan dengan pengaruh pada Singapura, Hongkong, atau Cina.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi pusat beroperasinya raksasa keuangan dunia. Sedangkan Cina akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Cina yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran kesana. Sementara itu, kita, setidaknya masih bisa menanam jagung dan memanen padi. ;-P

Sumber:http://wilrus.co.cc/ekonomi/krisis-ekonomi-global.html

0 Comments:

Post a Comment